www.outspoke.io – Peresmian Taman Doa Matopai/Hanowene menandai babak baru bagi umat Katolik di pedalaman Papua. Pada momen sakral itu, uskup jayapura hadir memimpin Misa Syukur sekaligus menegaskan arti penting ruang rohani bagi masyarakat Yahukimo. Di antara barisan umat, tampak pula pimpinan daerah Didimus Yahuli dan Esau Miram, sosok politisi yang kini mengemban amanah memimpin wilayah luas serta menantang itu. Perjumpaan pemimpin gereja dan pemimpin daerah menghadirkan simbol kerja sama demi kesejahteraan lahir batin.
Kehadiran uskup jayapura dalam perayaan syukur tersebut bukan sekadar agenda seremonial. Ia membawa pesan tentang perdamaian, penghargaan pada budaya lokal, serta komitmen penguatan iman. Peresmian Taman Doa Matopai/Hanowene memberi ruang bagi umat yang selama ini haus akan tempat hening untuk berdoa. Dari Yahukimo, gaungnya meluas: iman, kebijakan publik, juga pembangunan sosial sesungguhnya bisa berjalan beriringan jika kepemimpinan rohani serta politik saling menguatkan.
Makna Taman Doa Matopai/Hanowene Bagi Umat
Taman Doa Matopai/Hanowene hadir sebagai oase rohani bagi umat Katolik di Yahukimo. Di tengah terbatasnya sarana pendukung pastoral, taman doa ini menjadi jawaban atas kerinduan umat akan ruang hening yang layak. Peresmian oleh uskup jayapura menegaskan bahwa gereja melihat potensi besar di wilayah pegunungan Papua. Taman doa tersebut memberi simbol bahwa Tuhan menyapa umat bukan hanya di kota besar, tetapi juga di distrik terpencil, di tanah berbukit sekaligus terjal.
Dari sudut pandang pastoral, kehadiran taman doa ini memungkinkan pelayanan rohani berkembang lebih mendalam. Misa, adorasi, rosario, maupun kegiatan kategorial kini memiliki pusat baru. Umat dapat berkumpul, saling menguatkan, sekaligus mengolah iman ditemani keheningan alam Papua. Uskup jayapura, melalui Misa Syukur, menegaskan pentingnya memelihara taman doa sebagai ruang bersama. Bukan saja milik paroki, melainkan milik seluruh umat yang merindukan perjumpaan pribadi dengan Sang Pencipta.
Secara sosial, Taman Doa Matopai/Hanowene berperan sebagai titik temu pelbagai kelompok. Anak muda, orang tua, tokoh adat, juga pemerintah daerah berpeluang membangun dialog. Ruang spiritual kerap melunakkan sekat identitas, sehingga komunikasi tumbuh lebih hangat. Di sini, peran uskup jayapura tampak jelas: mengajak semua pihak melihat iman bukan sebagai tembok pemisah, melainkan jembatan. Taman doa akhirnya menjadi pusat refleksi, tempat masyarakat Yahukimo merenungkan arah hidup, juga masa depan daerah.
Apresiasi Uskup Jayapura Pada Kepemimpinan Daerah
Salah satu momen penting pada peresmian Taman Doa Matopai/Hanowene ialah apresiasi uskup jayapura kepada Didimus Yahuli dan Esau Miram sebagai pemimpin Yahukimo. Pujian itu tidak lahir tanpa alasan. Dukungan pemerintah daerah terhadap pembangunan fasilitas rohani menunjukkan keberpihakan pada kebutuhan batin warganya. Bagi saya, ini sinyal positif bahwa pembangunan tidak sekadar mengejar infrastruktur fisik, tetapi juga mengakui dimensi spiritual sebagai unsur penting kualitas hidup manusia.
Sinergi pemimpin gereja dan pemimpin politik memiliki dampak luas bagi masyarakat. Uskup jayapura mewakili suara moral, sementara bupati beserta wakilnya memegang kendali kebijakan. Ketika keduanya duduk bersama di satu altar perayaan, publik melihat gambaran ideal hubungan gereja serta negara pada level lokal. Ada saling dukung tanpa saling mendominasi. Inilah wajah kolaborasi yang patut dirawat: gereja menjaga nurani, pemerintah mengelola sumber daya demi kesejahteraan umum.
Dari kacamata pribadi, apresiasi uskup jayapura sekaligus mengandung harapan. Sanjungan publik terhadap pemimpin daerah seharusnya memacu integritas, bukan sekadar menjadi pujian kosong. Taman doa yang kini berdiri megah juga mengingatkan bahwa setiap keputusan politik akan diuji oleh suara hati rakyat. Ruang doa bisa menjadi tempat para pemimpin merenungkan jabatan sebagai tugas pelayanan. Bila pesan itu dihayati, Yahukimo berpeluang tampil sebagai contoh daerah pegunungan yang maju, namun tetap berakar pada nilai iman.
Tantangan, Harapan, dan Refleksi Untuk Masa Depan Yahukimo
Peresmian Taman Doa Matopai/Hanowene oleh uskup jayapura membuka cakrawala baru, tetapi pekerjaan rumah bagi Yahukimo masih luas. Keterbatasan pendidikan, akses kesehatan, serta infrastruktur tetap memerlukan perhatian serius. Namun taman doa ini memberi simbol kuat: perubahan sejati mesti berangkat dari hati yang diolah terus menerus. Di tengah realitas itu, saya melihat momentum ini sebagai undangan bersama: gereja, pemerintah, dan masyarakat perlu melangkah seirama. Jika ruang doa dimanfaatkan bukan hanya untuk ritual, melainkan juga permenungan kritis atas keadilan sosial, maka dari Yahukimo bisa lahir gerakan kecil yang pelan-pelan mengikis kekerasan, kemiskinan, juga keputusasaan. Pada akhirnya, Taman Doa Matopai/Hanowene bukan sekadar bangunan, melainkan cermin harapan bahwa di tanah Papua, iman dan kebijakan bijak dapat bertemu, saling menyembuhkan, lalu menuntun menuju masa depan lebih manusiawi.


