Lailatul Hadrah Tebuireng: Menyimak Spirit Gus Dur

alt_text: Pesantren Tebuireng merayakan Lailatul Hadrah, menggali semangat Gus Dur dalam kebersamaan.
Lailatul Hadrah Tebuireng: Menyimak Spirit Gus Dur

www.outspoke.io – Haul ke-16 gus dur di Pesantren Tebuireng Jombang kembali membuktikan bahwa sosok Presiden ke-4 RI ini belum pernah benar-benar pergi. Ribuan jamaah dari berbagai daerah memadati kompleks pesantren sejak sore, berharap memperoleh berkah sekaligus meneguhkan ingatan kolektif atas warisan pemikiran gus dur. Peringatan tahun ini terasa istimewa karena diawali dengan rangkaian Lailatul Hadrah yang syahdu, menyatukan suara shalawat, tabuhan rebana, juga air mata kerinduan.

Bagi banyak orang, haul gus dur bukan sekadar tradisi tahunan; ia menjelma ruang perjumpaan antara santri, aktivis, pegiat lintas iman, hingga masyarakat biasa. Di Tebuireng, ingatan terhadap gus dur hidup melalui lantunan zikir, pengajian umum, serta obrolan sederhana di serambi pesantren. Momentum ini mengajak kita menelusuri ulang jejaknya: bagaimana sosok dengan gaya humor santai tersebut mampu merawat pluralisme, membela kaum lemah, serta mengajarkan politik kasih sayang di tengah hiruk pikuk perbedaan.

Lailatul Hadrah: Pintu Masuk Spiritualitas Gus Dur

Lailatul Hadrah pada rangkaian haul ke-16 gus dur di Tebuireng menjadi semacam gerbang spiritual bagi para jamaah. Ketika rebana ditabuh dan shalawat menggema, suasana pesantren berubah menjadi ruang kontemplasi terbuka. Banyak wajah lelah setelah perjalanan jauh tampak luluh saat lantunan pujian kepada Nabi Muhammad terdengar pelan lalu menguat. Lailatul Hadrah menjadi momen menyatukan hati, sebelum jamaah menyimak secara lebih mendalam nilai-nilai yang pernah diperjuangkan gus dur.

Menariknya, hadrah di Tebuireng bukan sekadar ritual musikal. Ia memuat simbol bahwa perjuangan gus dur berakar kuat pada tradisi pesantren yang menghargai seni, kebudayaan, serta ekspresi kegembiraan. Hadrah menegaskan bahwa spiritualitas tidak harus kaku. Zikir bisa hadir lewat pukulan rebana, gerak tubuh pelan, juga suara jamaah yang tak selalu merdu namun tulus. Di titik inilah, kita melihat harmoni antara tasawuf, budaya lokal, serta semangat inklusif yang sering gus dur gaungkan.

Saya memandang Lailatul Hadrah di haul gus dur sebagai ajakan untuk mengendapkan diri sebelum menyelam lebih jauh ke pesan-pesan pengajian. Di tengah situasi sosial yang kerap bising oleh perdebatan politik dan ujaran kebencian, tradisi hadrah mengingatkan bahwa fondasi gerakan sosial seharusnya bertumpu pada hati yang tenang. Gus dur selama hidupnya menunjukkan bahwa keberanian politik tumbuh dari kedalaman spiritual. Tanpa itu, keberpihakan pada kaum tertindas mudah bergeser menjadi sekadar slogan.

Ribuan Jamaah dan Makna Ziarah ke Tebuireng

Kerumunan ribuan jamaah pada haul ke-16 gus dur menggambarkan betapa kuatnya daya magnet pribadi tersebut. Orang datang bukan hanya untuk berziarah ke makam, tetapi juga mencari arah di tengah perubahan zaman. Tebuireng menjadi simpul memori kolektif. Setiap orang membawa kisah sendiri tentang gus dur: ada yang mengingat keberaniannya membela minoritas, ada yang terkesan oleh kesederhanaan hidupnya, ada pula yang hanya tahu sosoknya lewat meme dan kutipan viral, lalu penasaran ingin mengenal lebih dekat.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa ziarah ke Tebuireng sejatinya adalah perjalanan mencari makna. Banyak jamaah menghabiskan malam dengan duduk tenang di sekitar makam sambil membaca tahlil, sementara lainnya berkumpul di serambi mengikuti pengajian umum. Di sela keramaian, perjumpaan antar generasi terlihat jelas. Orang tua menceritakan masa ketika gus dur aktif memimpin NU atau saat menjabat presiden, sedangkan anak muda mencoba menghubungkan cerita itu dengan isu kekinian seperti toleransi digital, politik identitas, juga krisis kemanusiaan global.

Dari sudut pandang saya, hal paling menarik justru cara generasi muda memaknai haul gus dur. Mereka datang dengan smartphone, merekam Lailatul Hadrah, lalu membagikannya ke media sosial. Di satu sisi, itu bisa tampak sekadar dokumentasi. Namun pada sisi lain, tindakan tersebut memperluas jangkauan pesan haul hingga melampaui pagar Tebuireng. Gus dur dikenal akrab dengan humor dan kedekatan pada rakyat. Jika masih hidup, mungkin ia akan tersenyum melihat namanya terus berseliweran di linimasa, bukan sebagai kultus individu, melainkan pengingat bahwa kemanusiaan perlu terus diperjuangkan.

Pengajian Umum dan Relevansi Gagasan Gus Dur Hari Ini

Pengajian umum selalu menjadi inti rangkaian haul gus dur, sebab dari forum inilah gagasan besar dikemas ulang agar relevan bagi persoalan hari ini. Para kiai, cendekiawan, serta tokoh masyarakat menafsir ulang pemikiran gus dur tentang demokrasi, keadilan sosial, serta hubungan antaragama. Menyimak pengajian itu, saya melihat satu benang merah: gus dur tidak pernah hanya berbicara konsep, tetapi menghidupi gagasan lewat tindakan berani, mulai pembelaan terhadap kelompok minoritas hingga sikapnya menolak kekerasan atas nama agama. Di tengah menguatnya politik identitas, pesan tersebut terasa makin segar. Haul di Tebuireng akhirnya menjadi bukan sekadar nostalgia, melainkan ruang belajar bersama mengenai cara menjadi warga negara yang beriman sekaligus menjunjung martabat kemanusiaan universal. Refleksi semacam ini amat penting agar sosok gus dur tidak berhenti sebagai simbol di mural atau kaus, namun menjelma inspirasi etis untuk keberpihakan nyata pada mereka yang tertindas.

Nanda Sunanto